Lhokseumawe | Aliansi.ID — Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Malikussaleh (UNIMAL) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk segera bertindak dan memperjuangkan pengembalian empat pulau yang diklaim sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Keempat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, yang secara administratif dan historis diyakini merupakan wilayah Aceh.
Ketua Umum DPM UNIMAL, Rendi Alfariq Del Chandra, menyatakan bahwa Keputusan Kemendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memasukkan empat pulau di Aceh Singkil ke wilayah Sumut sangat tidak masuk akal.
“Bagi kami selaku mahasiswa, ini sangat tidak masuk akal. Padahal jelas secara bukti administratif, keempat pulau itu masuk ke bagian wilayah Aceh, tidak ada masuk ke bagian wilayah Sumatera Utara,” tulisnya dalam rilis diterima Aliansi ID, Jumat (13/6/2026).
Rendi menambahkan, berdasarkan surat nomor 136/40430 tahun 2017 dan peta topografi TNI-AD tahun 1978, keempat pulau tersebut terbukti masuk dalam wilayah Aceh.
Desakan untuk Langkah Tegas DPRA
Rendi meminta para wakil rakyat di DPRA untuk mengambil langkah tegas dan strategis demi memperjuangkan pengembalian pulau-pulau ini. Ia menyoroti kekecewaan masyarakat Aceh yang telah bersusah payah memajukan dan memakmurkan keempat pulau tersebut.
“Ini bukan hanya berbicara soal wilayah, melainkan harkat martabat masyarakat Aceh yang segampang itu bisa diobok-obok oleh pejabat luar,” ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan fungsi DPRA dalam permasalahan ini. “Apa fungsi dari DPRA jika permasalahan ini tidak bisa diselesaikan? Padahal jelas dari masa kepemimpinannya Bapak Nova Iriansyah (Gubernur Aceh saat itu) sudah mengirimkan surat revisi penolakan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait empat pulau yang diklaim titik koordinatnya masuk ke bagian wilayah Sumatera Utara sejak tahun 2019-2022,” ujarnya.
Rendi menyatakan kekecewaannya karena hingga saat ini DPRA terkesan diam terhadap “perampasan” empat pulau ini oleh Provinsi Sumatera Utara.
Bukti Administratif dan Historis Wilayah Aceh
Rendi lebih lanjut menjelaskan sejarah Aceh Singkil yang pada dasarnya adalah bagian dari Aceh Selatan, kemudian melebur menjadi Kepulauan Aceh Singkil berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Keistimewaan Aceh.
Ia menegaskan bahwa banyak bukti yang menyatakan keempat pulau itu masuk bagian dari wilayah Aceh, baik secara administratif, sejarah, peninggalan Aceh, maupun geografis.
Dukungan juga datang dari masyarakat adat setempat yang mengakui mereka adalah bagian dari wilayah Provinsi Aceh, bukan Sumatera Utara.
“Masyarakat Aceh mempunyai hukum adat laut yang mana setiap hari Jumat mereka (nelayan) tidak boleh mencari ikan ke laut atau mengambil ikan di laut. Dan ini jelas Aceh mempunyai hukum adat yang mana ini sudah diterapkan turun-temurun,” jelas Rendi.
Penolakan Pengelolaan Bersama
Menanggapi adanya statemen dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengenai pengelolaan bersama keempat pulau, Rendi menyatakan hal tersebut menjadi perbincangan serius di kalangan mahasiswa dan aktivis.
“Apa maksud dari itu semua? Padahal jelas mereka hanya mengakui sepihak dari pusat, bukan dari bukti data yang kuat,” kritiknya.
DPM UNIMAL secara tegas menolak pengelolaan bersama dengan wilayah luar. “Aceh masih banyak masyarakat yang pintar untuk bisa mengelola keempat pulau itu. Kami bukan orang bodoh yang bisa dibola-bolakan,” tegas Rendi.
Ia pun mendesak DPRA dan Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan permasalahan keempat pulau ini melalui jalur hukum, bukan melalui pengelolaan bersama dengan wilayah luar.
“Ini bukan bicara soal pemetaan kepulauan, melainkan marwah bangsa Aceh yang dari dulunya menjadi bangsa yang merdeka,” pungkasnya. []