Indeks
Aceh, News  

Pelestarian Budaya Gayo: Harmoni Tradisi dan Teknologi di Tengah Arus Modernisasi

FGD Budaya Gayo
Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Model Komunikasi Digital Integratif untuk Pelestarian Kearifan Lokal dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Takengon Aceh Tengah, yang digelar oleh tim peneliti melalui skema Penelitian Fundamental Regular BIMA KEMDIKTISAINTEK 2025 di Grand Renggali Hotel, Takengon, Kamis (24/7/2025). đź“·: For Aliansi.ID

Takengon | Aliansi.ID — Budaya Gayo kini dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang besar dalam upaya pelestarian dan kebangkitan. Isu krusial ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh tim peneliti melalui skema Penelitian Fundamental Reguler BIMA KEMDIKTISAINTEK 2025 di Grand Renggali Hotel, Takengon, pada Kamis, 24 Juli 2025

Diskusi yang dipimpin oleh Jamiati KN, S.I.Kom., M.I.Kom., seorang akademisi dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal) ini turut melibatkan Majelis Adat Gayo (MAG), Dinas Pariwisata, pengrajin kerawang tenun Gayo, serta komunitas pemuda. Dalam pembukaan forum, Jamiati melemparkan pertanyaan kritis mengenai kondisi budaya Gayo saat ini, khususnya terkait komunikasi dan penggunaan bahasa daerah.

Sabirin, S.IP., M.A., perwakilan Majelis Adat Gayo, menyampaikan keprihatinannya terhadap generasi muda yang dinilai mulai meninggalkan bahasa dan identitas Gayo. Ia menyoroti fenomena di mana banyak anak muda merasa malu menggunakan bahasa Gayo, bahkan dalam lingkungan keluarga. Pergeseran nilai budaya ini terlihat dari penggantian panggilan khas “ine” menjadi “bunda” atau “mamah”.

Sabirin menekankan pentingnya menanamkan kembali nilai-nilai budaya Gayo yang menjadi fondasi masyarakat, meliputi: mukemel (harga diri), tertib, setie (kasih sayang dalam kesetiaan), semangat kasih sayang, munentu (kerja keras), amanah (dapat dipercaya), keramat, mufakat masyarakat, saling tolong-menolong, dan musabakah (menyelesaikan segala urusan kepada Allah).

“Jangan malu berbaju kerawang. Jangan malu berbahasa Gayo,” ujarnya, menyerukan agar masyarakat kembali mencintai identitas lokal.

Peran Pariwisata dan Digitalisasi dalam Pelestarian Budaya

Joko Novila Dison dari Dinas Pariwisata menambahkan bahwa pelestarian budaya kini menjadi elemen integral dalam strategi pengembangan sektor pariwisata. Para pemandu wisata dan pembuat konten lokal dibekali pengetahuan budaya Gayo dan didorong untuk menghasilkan konten yang menonjolkan kearifan lokal, mulai dari narasi tentang petani kopi, baju kerawang, hingga simbol-simbol adat.

Upaya tersebut diperkuat dengan digitalisasi budaya melalui aplikasi Kampus Gayo, yang memfasilitasi pembelajaran bahasa dan budaya Gayo secara interaktif bagi wisatawan dan masyarakat umum. Aplikasi ini berfungsi sebagai jembatan antara komunitas lokal dan dunia luar, sekaligus sarana promosi kultural yang adaptif terhadap perkembangan zaman.

Meskipun demikian, Majelis Adat Gayo menegaskan bahwa pelestarian budaya tidak dapat dilakukan secara terpisah atau sporadis. Kolaborasi dan koordinasi lintas sektor menjadi kunci utama. MAG mencontohkan kasus penggunaan motif kerawang dalam desain logo guest house yang menyerupai simbol adat berhak kekayaan intelektual (HAKI).

“Kalau ada metode baru untuk promosi budaya, harus dikolaborasikan. Jangan jalan sendiri,” tegas perwakilan MAG, menekankan pentingnya etika dan pemahaman dalam penggunaan simbol-simbol budaya.

Pengembangan Wisata Halal dan Adat serta Peran Pemerintah Daerah

Budaya Gayo juga tengah mengembangkan dua konsep wisata unggulan: wisata halal dan wisata adat. Kedua konsep ini menuntut penerapan nilai-nilai moral, etika, dan norma budaya yang kuat. Untuk mendukung keberlanjutan ini, pemerintah daerah diharapkan turut aktif dalam pengawasan dan perlindungan budaya, termasuk melalui pembentukan Polisi Adat Gayo sebagai penjaga nilai dan tatanan sosial masyarakat adat.

Diskusi ditutup oleh Aidul Fitra, perwakilan Majelis Adat Gayo, yang menegaskan bahwa adat bukan sekadar simbol atau hiasan, melainkan aturan hidup yang mengatur hubungan sosial dan moral masyarakat.

“Adat bukan hanya simbol, tapi juga aturan. Istiadat adalah kebiasaan. Semua kembali kepada akhlakul karimah,” pungkasnya.

FGD ini menjadi langkah awal yang signifikan dalam upaya pelestarian budaya Gayo yang lebih terarah, kolaboratif, dan relevan dengan perkembangan zaman. Dengan menggabungkan kekuatan tradisi dan teknologi, diharapkan budaya Gayo tidak hanya tetap lestari, tetapi juga mampu berkembang secara berkelanjutan di tengah derasnya arus modernisasi. []

Penulis : Syifa Putri AzzahraEditor : Redaksi
Exit mobile version