Aceh, Opini  

[Opini] Riset Asing di Aceh, Saat Data Kita Menjadi Senjata Mereka

Avatar
Rizki Fauzan, SH
Rizki Fauzan, SH. 📷: Dok. Pribadi

Oleh: Rizki Fauzan S.H*

Latar Belakang: Aceh, Laboratorium Terbuka dan Gerbang Strategis yang Rentan

Aceh terus menjadi daya tarik bagi para peneliti asing, terutama setelah bencana tsunami dan penandatanganan MoU Helsinki. Namun, di balik narasi perdamaian dan pembangunan, banyak riset ini yang minim transparansi, nyaris tanpa melibatkan pakar lokal secara substantif, dan hasilnya langsung dipublikasikan di jurnal, laboratorium, bahkan menjadi dasar kebijakan di luar negeri. Situasi ini menjadikan wilayah strategis kita sebagai “laboratorium terbuka” bagi pihak asing, bukan untuk kemajuan bersama, melainkan untuk memetakan celah keamanan, sosial, dan geopolitik Indonesia.

Mengapa Aceh Selalu Menjadi Sasaran Geostrategis?

  • Geopolitik Maritim: Aceh berada di bibir Selat Malaka, salah satu titik pemeriksaan maritim paling vital di dunia. Informasi mengenai geografi, oseanografi, hingga dinamika sosial pesisir Aceh menjadi intelijen berharga bagi kekuatan maritim global.
  • Dinamika Konflik dan Pascakonflik: Status Aceh sebagai bekas daerah konflik GAM membuka akses untuk studi mendalam tentang kohesi sosial, potensi radikalisasi, dan simulasi skenario konflik lanjutan. Informasi ini dapat menjadi masukan bagi intervensi asing.
  • Kekayaan Sumber Daya Alam: Keanekaragaman hayati yang melimpah (seperti Ekosistem Leuser) dan potensi energi yang belum tergali menjadikannya target eksploitasi data biologis (bioprospecting) dan pemetaan potensi sumber daya tanpa kendali kita.

Risiko Strategis dan Dampaknya: Ancaman Kedaulatan Berbasis Data

Riset asing di Aceh membawa risiko nyata terhadap kedaulatan data dan narasi nasional. Berikut adalah beberapa ancaman yang didukung oleh analisis intelijen terbuka dan tren global:

  • Pembentukan dan Penguasaan Narasi Global: Pihak asing mendominasi narasi tentang Aceh. Buku seperti After the Conflict (Anthony Reid) menjadi rujukan global, tetapi minim menyajikan suara dan perspektif lokal. Narasi ini dapat membentuk persepsi internasional tentang stabilitas atau konflik di Aceh, yang pada akhirnya memengaruhi agenda diplomatik atau ekonomi asing.
  • Pemanfaatan Data Sosial-Politik untuk Analisis Intelijen: Data sosial-politik kita diekstraksi dan dimanfaatkan oleh think tank asing yang berafiliasi dengan kepentingan strategis negara mereka. Misalnya, RAND Corporation dikenal menggunakan data dari wilayah konflik (termasuk Aceh dan Papua) untuk analisis dan simulasi separatisme. Laporan dari Amnesty International dan Human Rights Watch (HRW), yang berbasis riset lapangan, sering kali dijadikan dasar tekanan diplomatik internasional terhadap pemerintah Indonesia.
  • Ancaman Biopiracy dan Eksploitasi Hayati: Kasus dugaan pematenan data mikroba dari Ekosistem Leuser oleh pihak asing adalah peringatan nyata. Data dari Global Biodiversity Information Facility (GBIF) menunjukkan jutaan spesimen Indonesia dari riset asing berpotensi dimanfaatkan untuk paten farmasi atau industri tanpa pembagian hasil yang adil bagi Indonesia.
  • Penelitian Sipil sebagai Kedok Intelijen (Soft Surveillance): Riset akademik sering kali menjadi “kedok” bagi kegiatan “pengawasan lunak” (soft surveillance). Mahasiswa doktoral, LSM riset, atau program fellowship asing terindikasi kuat dimanfaatkan sebagai saluran pengumpul data strategis di wilayah sensitif. Mereka mengumpulkan informasi demografi, jaringan sosial, kerentanan infrastruktur, hingga sentimen publik yang esensial untuk analisis intelijen.
Baca juga :  PII Lhokseumawe: Empat Pulau Aceh Masuk Sumut Ancam Kedaulatan Tanah Rencong

Dampak Nyata yang Telah dan Dapat Terjadi

  • Pelemahan Posisi Diplomasi: Indonesia sering disorot negatif di forum internasional (PBB, UE) berdasarkan laporan riset asing yang bias, sehingga melemahkan posisi tawar kita.
  • Intervensi Kebijakan Asing: Data kita dijadikan dasar formulasi kebijakan luar negeri negara lain, berpotensi memicu intervensi dalam urusan domestik kita.
  • Kehilangan Kendali Narasi dan Data: Ini adalah bentuk tertinggi dari kehilangan kedaulatan non-militer. Kita kehilangan kendali atas narasi diri sendiri di mata dunia, dan data strategis kita menjadi aset bagi kepentingan asing.

Sorotan Tajam: Pengawasan Orang Asing yang Abai di Wilayah Teritorial

Di balik semua risiko ini, ada satu mata rantai pengawasan yang kerap luput dari perhatian, atau bahkan terindikasi abai: Pengawasan Orang Asing oleh Imigrasi di tingkat teritorial.

Dari sudut pandang pemuda Aceh di lapangan, kinerja Bidang Pengawasan Orang Asing (Wasdakim) Imigrasi di Aceh, khususnya di wilayah riset intensif, dinilai kurang optimal atau abai. Ada indikasi kuat bahwa:

  • Pelacakan Keberadaan dan Aktivitas yang Longgar: Mekanisme pelacakan keberadaan dan aktivitas peneliti asing, terutama setelah mereka mendapatkan izin dari pusat, terkesan longgar di lapangan. Banyak peneliti yang leluasa bergerak, mengumpulkan data, dan berinteraksi tanpa pengawasan ketat dan berkelanjutan dari Imigrasi setempat.
  • Koordinasi Lintas Sektor yang Lemah: Meskipun ada mekanisme koordinasi Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA), implementasinya di lapangan sering kali tidak solid. Imigrasi terkesan bekerja sendiri atau tidak secara efektif mengintegrasikan informasi dari BIN, BAIS, bahkan pemerintah daerah tentang target riset yang sensitif. Ini menciptakan celah besar bagi pergerakan asing yang tidak terpantau.
  • Prioritas Pengawasan yang Belum Tepat: Fokus pengawasan sering kali lebih kepada isu pelanggaran izin tinggal umum atau pekerja ilegal, tetapi belum cukup tajam terhadap potensi ancaman intelijen atau strategis dari aktivitas riset yang secara administratif sah.
Baca juga :  Nasrullah Larada Lantik Pengurus Wilayah KB PII Aceh Periode 2023-2027

Akibatnya, wilayah Aceh menjadi “zona abu-abu” di mana aktivitas riset asing berlangsung dengan pengawasan minimal, berpotensi menjadi “jalan tol” bagi data strategis kita untuk keluar tanpa hambatan berarti.

Rekomendasi Strategis: Penegasan Kedaulatan Melalui Pengawasan Teritorial yang Ketat

Kita harus bergerak cepat dan terkoordinasi untuk melindungi kedaulatan data dan narasi kita. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:

  • Audit Nasional Komprehensif dan Rekonstruksi Data Intelijen: Lakukan audit menyeluruh dan retrospektif terhadap seluruh riset asing selama 10–20 tahun terakhir di Aceh dan daerah sensitif lainnya. Audit ini harus mengidentifikasi: siapa peneliti, lembaga pendana (termasuk dana hibah dari pemerintah asing), area fokus riset, data mentah yang dikumpulkan, dan ke mana data tersebut dibawa. Data ini harus direkonstruksi sebagai intelijen nasional.
  • Pembentukan Satuan Tugas Kontra-Intelijen Ilmiah Permanen: Bentuk satgas permanen yang melibatkan BIN, BAIS TNI, BRIN, Kemenlu, Kemenhan, Kemkominfo, dan Ditjen Imigrasi (Kemenkumham). Satgas ini harus memiliki protokol pengawasan aktif di lapangan, termasuk pelacakan keberadaan dan aktivitas peneliti asing sejak masuk hingga keluar Indonesia, dengan mandat penindakan jika ada indikasi penyalahgunaan.
  • Sistem Satu Pintu Izin Riset Nasional yang Terintegrasi: Terapkan sistem satu pintu yang ketat untuk izin riset asing di bawah koordinasi BRIN, dengan integrasi data dan persetujuan dari Kemenlu, Kemenhan, Pemda setempat, dan persetujuan visa/izin tinggal dari Imigrasi. Wajibkan kolaborasi substantif dengan akademisi lokal (BRIN, universitas daerah) dan pastikan semua hasil riset, termasuk data mentah, diarsipkan di lembaga nasional.
  • Reorientasi dan Penguatan Wasdakim Imigrasi di Daerah Sensitif: Instruksikan Bidang Pengawasan Orang Asing Imigrasi di Aceh dan daerah strategis lainnya untuk secara spesifik menjadikan aktivitas riset asing sebagai prioritas pengawasan utama. Lengkapi mereka dengan sumber daya, pelatihan, dan kapasitas intelijen yang memadai untuk mendeteksi potensi ancaman di balik aktivitas riset yang tampak akademis.
  • Peningkatan Kesadaran dan Pelibatan Komunitas Lokal: Edukasi dan sosialisasi kepada pemerintah daerah, akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas lokal mengenai pentingnya kedaulatan data dan potensi risiko riset asing, serta mekanisme pelaporan jika menemukan aktivitas mencurigakan.
Baca juga :  Zakat Muslim Inggris Angkat Martabat Keluarga Yatim di Aceh

Kesimpulan: Kedaulatan Data, Kedaulatan Bangsa—Mendesak dan Tidak Dapat Ditawar

Riset asing di wilayah strategis bukan sekadar kegiatan akademik. Ia adalah instrumen geopolitik yang dapat menjadi alat tekanan, pengintaian, bahkan rekayasa opini global terhadap Indonesia. Aceh adalah bukti nyata bagaimana data lokal yang tidak terkontrol dapat menjadi senjata geopolitik yang merugikan kepentingan nasional.

Di era perang informasi dan narasi, Indonesia harus tegas: bukan anti asing, tetapi pro-kedaulatan. Sudah saatnya kita tidak hanya menjadi objek riset, tetapi subjek yang aktif menulis, mengontrol, dan menjaga narasi serta data kita sendiri. Tanpa penajaman peran pengawasan teritorial, khususnya dari Imigrasi, upaya ini akan sia-sia. Kelalaian di pintu gerbang dan di lapangan adalah lubang yang harus ditutup segera. Kegagalan bertindak berarti menyerahkan masa depan strategis kita kepada agenda pihak lain. []

*Penulis merupakan pemerhati sosial politik Aceh.

*Opini adalah pandangan pribadi penulis, tidak mencerminkan kebijakan redaksi.

Editor : Redaksi
Sumber : Ril