Gejolak sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat, memicu perdebatan panas di berbagai kalangan. Sebagai mahasiswa asal Aceh, kita merasa perlu untuk menyuarakan imbauan agar semua pihak, baik politisi maupun pejabat di tingkat pusat dan daerah, dapat menahan diri. Komentar-komentar yang menyejukkan dan konstruktif sangat dibutuhkan demi menjaga kondusivitas serta perdamaian yang telah susah payah dibangun di Aceh.
Persoalan krusial ini sejatinya telah mendapat perhatian serius dari Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, yang telah menjanjikan penyelesaian dalam waktu dekat. Kita tunggu saja apa yang beliau janjikan akan diselesaikan minggu depan. Sudah sepantasnya para politisi dan pejabat menghormati pernyataan dan sikap Presiden sebagai pemimpin negara yang memiliki wewenang penuh dalam menyelesaikan masalah ini.
Namun, sangat disayangkan masih ada pernyataan dari beberapa pejabat pusat yang justru memperkeruh suasana. Pernyataan Menko Kumham Imipas RI Yusril Ihza Mahendra terkait keberatannya terhadap isi Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki justru menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian di tengah masyarakat Aceh.
Pemerintah seharusnya menghormati batas Aceh yang sudah disepakati dalam Perjanjian Helsinki. Penyerahan Pulau Mangkir Besar, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Panjang kepada Provinsi Sumatera Utara adalah penodaan terhadap semangat perjanjian damai antara Aceh dan pemerintah pusat. Jangan sampai Aceh dieksploitasi dengan isu-isu yang dapat merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sengketa ini bermula dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memasukkan keempat pulau tersebut ke wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini jelas memicu penolakan keras dari masyarakat dan pemerintah Aceh. Penting bagi semua pihak, terutama Kemendagri, untuk memahami Nota Kesepahaman Helsinki demi menjaga perdamaian yang telah berlangsung di Aceh selama hampir 20 tahun pasca-konflik bersenjata.
Kita khawatir, sengketa ini berpotensi memicu perpecahan yang dapat mengancam stabilitas sosial dan politik Aceh yang selama ini sudah relatif kondusif. Dengan situasi Aceh yang sudah sangat kondusif, ada baiknya pemerintah pusat, terutama Mendagri dan pejabat terkait, tidak “memercik hal-hal yang bisa menimbulkan inkonsistensi dalam proses perdamaian Aceh.”
Pernyataan Menteri Yusril yang dapat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat Aceh dan memicu gejolak emosional sungguh kita sesalkan. Penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara bijak, mengedepankan pendekatan hukum dan rasa keadilan, bukan berdasarkan kepentingan politik sesaat.
Ironisnya, peristiwa ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kehadiran beliau seharusnya menjadi simbol penguatan otonomi dan perdamaian, namun kini menjadi saksi bisu rapuhnya janji-janji pemerintah pusat dalam menjaga komitmen terhadap perjanjian damai.
Krisis ini berpotensi mengancam kepercayaan masyarakat Aceh pasca-konflik. Otonomi khusus yang diperoleh Aceh adalah hasil kompromi besar di mana GAM rela “mengubur mimpi merdeka mereka demi mendapatkan otonomi khusus” sebagai jalan terbaik mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, yang berperan besar dalam proses perdamaian Aceh, bahkan menyatakan bahwa Kepmendagri tersebut “cacat formil”. Menurut beliau, keputusan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan batas wilayahnya, serta bertentangan dengan MoU Helsinki yang mengacu pada batas wilayah Aceh per 1 Juli 1956.
Jusuf Kalla menegaskan, penegakan hukum dan penghormatan terhadap perjanjian damai harus menjadi prioritas utama pemerintah pusat untuk menjaga stabilitas dan keutuhan wilayah negara. Sikap pemerintah pusat harus jelas dan konsisten demi menghormati perjuangan dan pengorbanan masyarakat Aceh dalam mencapai perdamaian.
Sengketa pulau ini telah menjadi perhatian nasional dan internasional, mengingat Aceh adalah daerah otonomi khusus pasca-konflik dan menjadi contoh penting dalam proses perdamaian dan rekonsiliasi di Indonesia. Masalah batas wilayah yang merupakan simbol kedaulatan dan identitas daerah harus diselesaikan secara adil dan transparan agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.
Para pengamat dan tokoh masyarakat berharap pemerintah pusat dapat memediasi dengan bijaksana dan membuka ruang dialog yang melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat. Keputusan yang diambil haruslah mendapat dukungan luas dan tidak menimbulkan kegaduhan.
Sebagai generasi muda Aceh, kita menginginkan suasana damai yang kondusif terus terjaga, agar pembangunan dan kemajuan daerah dapat berjalan tanpa gangguan. Kita berharap agar persoalan ini tidak dijadikan alat politik yang merusak persatuan dan perdamaian.
*Penulis adalah mahasiswa Politeknik Negeri Lhokseumawe (PNL) asal Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh