Balai Syura Ureung Inong Aceh: Perempuan Aceh Berhak untuk Berpartisipasi dalam Pilkada

Avatar
Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Khairani Arifin SH MHum. Foto: Dok. Pribadi

Banda Aceh | Aliansi.ID – Balai Syura Ureung Inong Aceh (Balai Syura) dan seluruh elemen gerakan perempuan dari 43 organisasi dan lembaga, menyikapi berkembangnya pernyataan kontroversial di media sosial yang menolak partisipasi Perempuan Aceh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Khairani Arifin, mengatakan penolakan terhadap partisipasi kaum hawa dalam gelaran Pilkada berdasarkan penafsiran yang sempit terhadap ajaran Al-Qur’an.

“Memilih dan dipilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk Perempuan Aceh,” tulis Khairani dalam siaran pers yang diterima media ini, Rabu (24/7/2024).

Jaminan atas pemenuhan hak ini, kata dia, telah dinyatakan dengan tegas dalam Konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan di bawahnya, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Qanun.

“Hal ini sejalan dengan prinsip non diskriminasi dan kesetaraan substantif yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984,” terang Khairani.

Selain itu, dia menyebut, baik UU Pemerintah Aceh (UUPA), UU Pemilihan Kepala Daerah maupun Qanun Aceh tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali kota dan Wakil Wali kota, tidak ada satupun yang melarang perempuan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Baca juga :  PHR Regional Sumatera Ikuti Aksi Coastal Clean Up di Pantai Ie Meulee Sabang

“Bahkan UUPA telah mewajibkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan. Pasal 8 Qanun Aceh tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan juga telah menegaskan jaminan atas hak perempuan untuk menduduki posisi jabatan politik di eksekutif maupun legislatif secara proporsional,” beber Khairani.

“Perempuan juga dijamin haknya dalam melakukan berbagai aktivitas politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dicalonkan sebagai anggota legislatif oleh partai politik nasional maupun partai politik lokal. Karenanya larangan bagi Perempuan Aceh untuk mencalonkan diri dalam Pilkada merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang- undangan dan perampasan hak konstitusional perempuan,” tegasnya.

Lebih jauh, aktivis perempuan ini menyebutkan, dalam sejarah Islam telah mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam, tanpa melarang mereka untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik.

Baca juga :  Polda Aceh Tahan Tiga Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Wastafel

“Aceh sendiri memiliki warisan kepemimpinan perempuan yang kuat dengan empat Ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, yang didukung oleh dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Singkili. Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki tempat yang penting dalam sejarah kepemimpinan di Aceh. Oleh karenanya, penting bagi publik di Aceh untuk mempelajari kembali sejarah ini guna menghindari kesalahpahaman dan merawat ingatan bersama,” paparnya.

“Sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk, kami percaya bahwa partisipasi penuh perempuan dalam kepemimpinan politik adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berdaya,” tutup Khairani.

Berikut pernyataan sikap Balai Syura Ureung Inong Aceh dan seluruh elemen gerakan perempuan terkait partisipasi Perempuan Aceh dalam Pilkada:

1. Mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, agar:

a. memastikan setiap warga negara termasuk perempuan terlindungi dan terpenuhi hak konstitusionalnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, termasuk dalam hal ini memastikan setiap perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada atau terlibat dalam politik tidak menghadapi diskriminasi atau hambatan karena keberadaannya sebagai perempuan;

b. mengambil langkah-langkah konkret untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dalam politik, termasuk mendukung keterlibatan mereka dalam bursa Pilkada dan posisi kepemimpinan politik lainnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;

c. meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam politik, serta menghapus stereotip dan prasangka gender yang dapat menghalangi partisipasi perempuan.

2. Meminta Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan Panwaslih Kab/Kota untuk meningkatkan pengawasannya terhadap penggunaan konten atau materi kampanye yang mengarah kepada hoax dan politisasi SARA dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak dari tahap persiapan, dan melakukan langkah-langkah konkret untuk pencegahan;

3. Menyerukan kepada seluruh Bakal Calon/Calon Kepala Daerah dan tim suksesnya agar berkompetisi secara fair dalam keseluruhan tahapan proses pemilihan kepala daerah, tanpa harus melakukan politisasi agama/politisasi Syariat Islam untuk menjegal perempuan menggunakan hak politiknya.

Editor : Redaksi
Sumber : Ril