Banda Aceh | Aliansi.ID — Maraknya aktivitas pencarian benda-benda kuno menggunakan Metal Detector di kawasan situs sejarah Syumuthrah (Sumatra–Pasai) di Kabupaten Aceh Utara mengancam pelestarian sejarah.
Hal tersebut disampaikan dua perkumpulan yang selama ini concern terhadap penelitian dan pelestarian sejarah Islam yang tergabung dari Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) dan Center For Information of Sumatra Pasai Heritage (CISAH).
MAPESA dan CISAH mendesak pemerintah untuk mengeluarkan regulasi berupa Qanun sebagai langkah tegas pelarangan penggunaan alat yang dapat mendeteksi logam yang tersembunyi di dalam objek atau tanah (metal detector) yang makin tidak terkendali.
Kedua perkumpulan tersebut menyampaikan lima rekomendasi penting dari hasil Rapat Koordinasi terkait masa depan situs sejarah Syumuthrah (Sumatra–Pasai) yang dilaksanakan di Sekretariat MAPESA, Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh, Minggu (19/01/25).
“Perihal tinggalan sejarah Sumatra Pasai sangatlah penting dijaga, salah satunya karena ia menyimpan penanggalan tertua zaman kesultanan Islam di Asia Tenggara, terutama kawasan tinggalan inti yang berada di Kabupaten Aceh Utara,” ungkap Ketua MAPESA, Mizuar kepada Aliansi ID, Senin (20/1).
Sementara Ketua CISAH Abd. Hamid mengatakan di antara banyaknya bukti peradaban Islam pada abad 13 hingga awal 16 masehi di Aceh Utara, hanyalah batu nisan-batu nisan tipologi Pasai yang memiliki banyak deposit lumayan terjaga.
“Sedangkan untuk artefak tinggalan sezaman lainnya, seperti numismatik (mata uang), ragam perhiasan, dan tinggalan etnografi masih sangat tidak tersentuh penjagaan dan perhatian dari berbagai kalangan, dan sering kali dijarah serta dijual ke luar,” ujar Abel, sapaan akrab Abd. Hamid.
Lebih lanjut, Abel menyampaikan maraknya aktivitas-aktivitas pencarian benda-benda kuno menggunakan “metal detector” di kawasan situs sejarah Sumatra–Pasai tersebut menjadi minat khusus (hobi) bagi orang-orang yang memiliki kemampuan finansial tinggi.
“Hal ini berdampak pada maraknya penjualan benda-benda kuno demi keuntungan pribadi,” jelasnya.
Terlebih, lanjutnya, pelaku aktivitas tidak berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pihak-pihak berkompeten terkait pencarian benda-benda kuno tersebut. Pencarian benda-benda kuno menggunakan metal detector teramati sebagai fenomena yang menarik minat banyak orang oleh karena penghasilannya yang fantastis.
“Munculnya keyakinan bahwa jika seseorang menemukan satu benda antik bersejarah dan tidak menjualnya, maka dia tidak akan mendapatkan benda lainnya. Benda lain akan didapatkan ketika dijual atau dilelang,” terangnya.
Sementara itu, kata dia, pengawasan dan penjagaan dari pihak gampong untuk mengontrol aktivitas metal detector masih sangat lemah. Di sisi yang lain, penelitian sejarah dan arkeologis masih sangat minim dilakukan. Perhatian terhadap museum sebagai lembaga penyimpan benda-benda kuno dan bersejarah sangat kurang.
“Dampak aktivitas metal detector dan perdagangan hasil temuannya antara lain degradasi peninggalan sejarah yang penting untuk dipelajari dan dilestarikan untuk dimanfaatkan sebagai bahan-bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan edukasi,” bebernya.
“Perusakan konteks benda-benda bersejarah yang biasanya melahirkan informasi penting menyangkut lokasi dan kawasan situs sejarah, Ini disebabkan oleh aktivitas metal detector yang dilakukan secara acak dan tanpa konsultasi dengan pihak-pihak berkompeten misalnya Museum Islam Samudra Pasai,” sambung Abel.
Hal ini berdampak pada tereksposnya benda-benda bernilai sejarah ke luar wilayah Kabupaten Aceh Utara, bahkan Aceh dan Indonesia untuk kemudian tersembunyi dalam koleksi-koleksi privat yang tidak dapat dijangkau para peneliti dan tidak pernah dipamerkan.
“Museum Islam Samudra Pasai akan kekurangan koleksi benda-benda bersejarah yang dengan demikian akan menghalangi pertumbuhan dan perkembangan museum. Aset sejarah Sumatra–Pasai yang kaya dan penting untuk pengetahuan dan edukasi pada akhirnya telah disalahgunakan secara besar-besaran untuk keuntungan dan kepentingan pribadi,” ungkapnya.
Oleh karena ini, pihaknya mendesak pemerintah bertindak tegas untuk mengeluarkan regulasi berupa Qanun untuk melindungi benda-benda tinggalan sejarah tersebut.
Lima Rekomendasi MAPESA dan CISAH
- Tetap mengimbau dan mengingatkan bahwa aktivitas metal detector merugikan kekayaan Sejarah Sumatra–Pasai yang dibanggakan oleh masyarakat Aceh Utara, Aceh dan Indonesia. Larangan pencarian benda bersejarah dengan “metal detector” melalui media massa dan media sosial (contoh: Metal Detector=Penjarahan).
- Penyiaran melalui media massa dan media sosial tentang dampak dan akibat aktivitas metal detector yang merugikan masyarakat Aceh Utara, Aceh dan Indonesia baik secara moril maupun materil.
- Mendesak Pemerintah untuk melahirkan regulasi berupa Qanun Pemajuan Permuseuman dalam rangka mengatasi persoalan ini, serta mengembangkan lembaga-lembaga permuseuman baik formal maupun non-formal di Aceh sebagai wadah penyimpan benda-benda bernilai sejarah.
- Menjalin komunikasi dengan Geuchik dan mengajak mereka untuk turut serta menjaga kawasan situs-situs sejarah di Aceh secara umum dan Aceh Utara secara khusus.
- Masyarakat diimbau untuk mengawasi dan mengontrol aktivitas metal detector yang merugikan kekayaan sejarah.
Rencana Aksi dan Kesepakatan Kolaboratif
- Pernyataan sikap bersama MAPESA dan CISAH menolak dengan tegas aktivitas Metal Detector yang tidak terkendali.
- Mendesak pemerintah untuk menyusun regulasi terkait permuseuman dan koleksi benda-benda bersejarah (Regulasi Pemajuan Permuseuman di Aceh).
- Mengharapkan Pemerintah di tingkat gampong, mukim dan kecamatan untuk mengaktifkan “Pageu Gampong” menyangkut aktivitas metal detector di wilayahnya masing-masing.
- MAPESA dan CISAH akan menyusun brosur menyangkut pelestarian sejarah untuk disosialisasikan kepada para Geuchik gampong dan jajarannya.
- Memantau perkembangan persoalan ini sampai hal-hal baik yang diharapkan terealisasi. []