Proyek ini, yang diklaim sebagai simbol pemerataan pembangunan nasional, justru memicu kritik luas dari kalangan akademisi, masyarakat sipil, dan pemerhati kebijakan publik. Keterlibatan Bank Dunia dianggap sebagai momentum investasi, tetapi juga dikhawatirkan menjadi bentuk intervensi ekonomi global terhadap arah pembangunan Indonesia.
Berdasarkan laporan kelompok mahasiswa Ekonomi Pembangunan, skema pembiayaan melalui Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) belum berjalan optimal. Dari target investasi Rp253 triliun, hanya Rp35 triliun yang terealisasi hingga pertengahan 2025. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar beban pembangunan tetap disokong oleh APBN, bukan sektor swasta sebagaimana dirancang.
Komunitas lokal juga menjadi korban diam-diam dari megaproyek ini. Masyarakat adat di Kalimantan Timur menghadapi risiko kehilangan tanah dan identitas budaya karena minimnya konsultasi publik dan tidak jelasnya jaminan hak atas ruang hidup mereka. Pembangunan IKN harus memprioritaskan keadilan sosial, bukan hanya proyek prestise politik pusat.
Kritik juga diarahkan pada proses sentralisasi kekuasaan. Alih-alih mendistribusikan pembangunan secara merata, proyek IKN justru memperkuat dominasi elite pusat atas daerah. Padahal, semangat desentralisasi telah menjadi semangat reformasi pasca-Orde Baru.
Dengan segala dinamika tersebut, laporan ini mengajak publik dan pemangku kepentingan untuk melihat proyek IKN tidak hanya sebagai pembangunan fisik, tetapi sebagai cermin kebijakan ekonomi-politik yang menyangkut kedaulatan, keadilan sosial, dan partisipasi publik. []
*Penulis merupakan mahasiswa program studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh (UNIMAL)