Dalam suasana politik yang kian memanas, di mana setiap suara sangat berharga, kita dihadapkan pada pilihan penting yang akan menentukan masa depan Aceh. Partai Aceh (PA) telah mengambil langkah berani dengan melaporkan dugaan pelanggaran pemilihan yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP).
Ini adalah momen yang tidak hanya menuntut perhatian kita, tetapi juga mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang siapa yang benar-benar layak memimpin provinsi ini. Kita harus ingat, kepemimpinan bukan hanya tentang menjanjikan kemewahan dan popularitas. Ini juga tentang integritas, keberanian, dan komitmen untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.
PA telah menunjukkan komitmen tersebut dengan berani menantang KIP, yang selama ini berfungsi seolah-olah sebagai penghalang bagi keadilan. Dalam laporan yang mereka ajukan, PA mengungkapkan dengan jelas bahwa KIP tidak hanya gagal menjalankan tugasnya, tetapi juga berpotensi merusak proses demokrasi yang seharusnya berjalan dengan adil.
Partai Aceh, telah mengusung semangat perjuangan yang berakar dari harapan rakyat. Mereka paham bahwa setiap keputusan yang diambil akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Dengan langkah berani melaporkan KIP, PA menunjukkan bahwa mereka tidak takut untuk memperjuangkan keadilan, meskipun harus melawan lembaga yang seharusnya netral.
Terdapat dua hal kesalahan yang diduga dilakukan oleh KIP Aceh dalam konteks pemilihan gubernur dan wakil gubernur Penafsiran Hari Kerja yang Tidak Konsisten, yang mana hal tersebut telah bergulir ke publik dan menjadi bola liar yang membuat narasi negatif terhadap partai yang merupakan warisan perdamaian ini.
Pertama, KIP Aceh mengubah penafsiran tentang hari kerja yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Qanun No 7 tahun 2024. Awalnya, KIP menetapkan periode pendaftaran selama tujuh hari kerja dari 6 hingga 12 September 2024. Namun, KIP kemudian mengeluarkan keputusan baru (No 26 Tahun 2024) yang memperpanjang periode pendaftaran hingga 15 September 2024 dengan merujuk pada kalender. Perubahan ini dianggap tidak konsisten dan membingungkan bagi bakal calon dan masyarakat, serta berpotensi merusak keadilan dalam proses pemilihan.
Kedua, penambahan Kriteria Penilaian dalam Uji Membaca Al-Qur’an: KIP Aceh melakukan penambahan kriteria penilaian “adab” dalam ujian membaca Al-Qur’an yang dilaksanakan untuk bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 24 huruf c Qanun No 7 tahun 2024 yang menyebutkan bahwa kriteria yang dimaksud hanya mencakup kemampuan membaca Al-Qur’an terkait dengan makharijul huruf, tartil, dan tajwid. Penilaian adab dianggap sebagai tambahan yang tidak sesuai dan dapat menimbulkan kebingungan, serta berpotensi merugikan calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Kedua poin ini menunjukkan adanya ketidakprofesionalan dan inkonsistensi dalam pelaksanaan tugas KIP Aceh, yang dapat menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilihan.
Partai Aceh juga merasa dirugikan secara substansial akibat keputusan KIP yang mengeluarkan pernyataan tidak memenuhi syarat (TMS) terhadap salah satu calon pasangan. Meskipun keputusan ini kemudian dibatalkan, dampak negatifnya sudah terlanjur menyebar di masyarakat. Pengumuman awal tersebut menciptakan persepsi bahwa ada intervensi dari PA untuk merugikan calon lain, yang bisa mencederai reputasi PA sebagai partai yang berkomitmen pada prinsip demokrasi.
Dalam situasi ini, PA tidak hanya menghadapi tantangan untuk membela calon mereka, tetapi juga berpotensi kehilangan dukungan dari pemilih yang menganggap partai tersebut terlibat dalam praktik politik tidak etis. Ini menciptakan kerugian ganda: citra partai terancam dan fokus kampanye mereka terganggu oleh isu-isu yang tidak seharusnya mereka hadapi.
Masyarakat berhak mendapatkan pemilihan yang bersih, namun tindakan KIP justru mengaburkan niat baik tersebut, menempatkan PA dalam posisi yang sulit untuk menjelaskan dan mempertahankan integritas mereka di mata publik. Bahkan dituntut untuk menjelaskan perbuatan yang tidak mereka lakukan sama sekali.
Akibat dari tindakan KIP ini sangatlah signifikan. Asumsi liar masyarakat terhadap Partai Aceh yang merupakan simbol perdamaian semakin negatif. Ketidakpastian dan kebisingan yang ditimbulkan KIP memperburuk persepsi publik, menjadikan Partai Aceh sebagai pihak yang dianggap terlibat dalam intrik politik yang tidak mereka ciptakan. Kegaduhan ini justru menguntungkan pihak lain, yang berupaya mengambil keuntungan dari situasi yang tidak adil ini.
Pelaporan ini bukan hanya upaya DPP PA untuk meluruskan narasi yang menyudutkan mereka sebagai alat kepentingan politik, tetapi juga penting untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Jika tidak ditangani dengan serius, kerusakan pada reputasi KIP dan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu akan semakin parah. Panwaslih diharapkan dapat menindaklanjuti laporan ini dengan tegas dan merekomendasikan langkah-langkah yang tepat.
Pilihannya jelas: kita harus mendukung mereka yang berani mengambil sikap untuk mengubah keadaan, bukan mereka yang memilih bersembunyi di balik intrik politik pecundang yang memanfaatkan situasi yang menguntungkan diri dan kelompoknya.
Masyarakat Aceh tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga memilih masa depan. Mari kita jadikan pemilihan ini sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa masyarakat Aceh tidak akan pernah rela dijadikan korban dari intrik politik “Apa Kaoy” yang berharap atensi publik dari situasi panas yang mereka ciptakan diam-diam. Saatnya untuk memilih keberanian, integritas, dan komitmen untuk Aceh yang lebih baik.
*Penulis adalah praktisi hukum dan pemerhati sosial politik