Mengisi kajian udhiyah (qurban) pada subuh hari Arafah (9 Zulhijjah 1445 H) di Masjid Babul Huda, Panggoi, Kota Lhokseumawe. Topik yang kami angkat adalah Problematika Daging Qurban untuk “Orang Kaya”.
Kajian ini berangkat dari konsep Imam al-Subki tentang “al-maqshudul a’dham” pembagian daging udhiyyah adalah ditujukan untuk para fuqara, bukan bagi aghniyaa (orang mampu).
Oleh sebab itu, pemberian daging Qurban untuk fuqara adalah “tamlikan tamman” (kepemilikan yang sempurna), sementara pemberian kepada aghniyaa adalah “ibahah” dan “intifa’an”, yaitu kebolehan untuk dikonsumsi atau dihadiahkan kepada orang lain, bukan kepemilikan yang sempurna.
Sehingga pemberian daging Qurban kepada orang mampu -sekalipun dibolehkan pada qurban sunnat– tetap menyimpan problematika karena pembatasan syara’ terhadapnya dan juga mendegradasi “al-maqshudul a’dham” udhiyyah bagi fuqara.
Berlandaskan dua alasan ini, yaitu pembatasan syariat terhadap status ibahah daging udhiyyah di tangan orang mampu dan sasaran syariat dalam konteks tercapainya al-maqshudul a’dham, maka sebaiknya orang mampu tidak mengambil daging qurban, tetapi menambah porsi daging tersebut kepada fuqara.
Sementara pemilik qurban yang juga dikategorikan oleh as-Subki sebagai orang mampu sebaiknya pula mengambil sedikit saja untuk dimakan bersama keluarga, sementara porsi yang paling utama tetap ditujukan untuk fuqara.
Jika konsep al-maqshudul a’dham ini dapat direalisasikan secara optimal pada distribusi daging qurban, maka pada hari tasyriq para fuqara tetap memiliki simpanan daging untuk mereka jemur atau disimpan untuk dikonsumsi sampai selesainya hari tasyriq karena besarnya porsi daging yang mereka terima. Wallahu a’lam. []