Aceh, Opini  

[Opini] Dua Dasawarsa Tsunami Aceh: Refleksi Menuju Aceh Hebat

Oleh: Andika Pratama*

Avatar
Museum Tsunami Aceh, yang terletak di Banda Aceh. Foto: Net
Museum Tsunami Aceh, yang terletak di Banda Aceh. Foto: Net

Genap dua dasawarsa peristiwa gempa bumi dan tsunami dahsyat meluluhlantakkan provinsi paling barat pulau Sumatra, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Indonesia. Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 pada 26 Desember 2004 juga berdampak di 14 negara lain. Namun, Banda Aceh merupakan salah satu kota yang parah terdampak.

Gempa bumi terkuat yang pernah tercatat di Asia berskala 9.1–9.3 dalam skala kekuatan magnitudo. Gempa diikuti gelombang tsunami dengan ketinggian mencapai 24 meter saat menghantam daratan, kemudian meninggi hingga 30 meter di sejumlah daerah ketika menyapu daratan.

Sebanyak 227.898 orang dilaporkan meninggal dunia akibat bencana ini. Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya dengan perkiraan korban tewas mencapai 170.000 orang. Dalam laporan lainnya disebutkan, jumlah korban tewas sebanyak 220.000 jiwa di Indonesia, sehingga totalnya di seluruh dunia mencapai 280.000 jiwa.

Bencana ini juga mengguncang banyak orang yang mengalami trauma dan kehilangan yang berkepanjangan, akibat kehilangan anggota keluarga dan harta benda. Situasi darurat ini menciptakan tantangan baru bagi masyarakat.

Hari itu, dua puluh tahun silam, menjadi salah satu titik paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, dari puing-puing kehancuran, Aceh bangkit. Tsunami yang meluluhlantakkan itu memang meninggalkan luka mendalam, tetapi ada pula pembelajaran berharga di baliknya.

Hikmah Dibalik Bencana

Sehingga dalam bencana ini Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 2 Tahun 2005 dengan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Perpres ini mengatur tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Baca juga :  "Daebak!" Ada Perusahaan Korea Selatan Investasi di Aceh Tengah dan Bener Meriah

Dalam BRR NAD-Nias dibentuk untuk membangun kembali infrastruktur seperti jalan, jembatan, sekolah dan fasilitas kesehatan dibangun kembali. Pasca tsunami perubahan sosial dan budaya masyarakat Aceh menjadi lebih terbuka dan adaptif. Maksud dari terbuka dan adaptif, yaitu meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, hubungan antar-etnis dan agama lebih harmonis, peningkatan kesadaran akan pentingnya dukungan sosial, pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman budaya, peningkatan kesadaran akan pentingnya kewirausahaan, pengembangan industri lokal, dll.

Salah satu hikmah dari bencana ini, yaitu ditandatanganinya memorandum of understanding (MoU) Helsinki atau Kesepakatan Helsinki, di Finlandia pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mengakhiri konflik Aceh berkepanjangan dari tahun 1976 hingga 2005.

Maka kita harus merawat bersama memori kejadian masa silam agar kita tidak pernah menjadi bangsa pelupa sebagaimana termaktub dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal ini menegaskan hak dasar setiap warga negara untuk hidup, yang menjadi pengingat pentingnya upaya mitigasi bencana dan perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman bencana alam.

Mari seluruh elemen masyarakat Aceh agar tetap bersinergi, bahu-membahu dalam rangka merawat dan menjaga perdamaian yang berhasil kita capai bersama dan memperkuat kekompakan kita dalam keberagaman menuju “Aceh Hebat”, tidak hanya hebat dalam penanganan kebencanaan, tetapi juga hebat dalam memajukan Aceh dan menyejahterakan masyarakatnya

Perdamaian juga telah diperkuat melalui perundang-undangan Republik Indonesia, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang lahir pasca perdamaian memberikan ruang yang besar untuk pengelolaan pemerintah daerah guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. UUPA merupakan produk politik dan banyak kekhususan diberikan untuk Aceh, tetapi regulasinya belum cukup maksimal untuk peningkatan sosial maupun kesejahteraan.

Baca juga :  Panwaslih Aceh Instruksikan Buka Posko Kawal Hak Pilih

Peringatan tersebut juga menjadi penyemangat bagi kita semua untuk selalu menjaga, merawat, dan merevitalisasi berbagai peninggalan tsunami dari kerusakan dan kehilangan sebagai warisan budaya benda dan tak benda (tangible dan intangible) Aceh, nasional dan internasional. Di antaranya, seperti Kapal PLTD Apung, Thanks to the World Park, Kapal di Atas Rumah, Kuburan Massal Tsunami, Guha Ek Luntie (gua yang mengungkapkan jejak tsunami purba di Aceh), Kubah Masjid Terdampar, Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Baiturrahim, dan peninggalan masa lalu lainnya. Warisan budaya tak benda meliputi kisah hidup dari pengalaman bencana masa lalu, teatrikal, tarian, musik, dan lainnnya sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat (kolektif memori).

Termasuk juga beberapa bangunan penting lainnya yang juga berperan sebagai media mitigasi, rekreasi, evakuasi dan penelitian kebencanaan yang dibangun selama masa Rekonstruksi Aceh, seperti Museum Tsunami, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Escape Hill Building dan monumen peringatan bencana lainnya di Aceh sebagai media pembelajaran (lessons learnt).

Semua peninggalan bencana masa lalu harus dipelihara dengan baik, tidak hanya menjadi media pengingat “reminder” bencana tsunami 2004, bencana serupa lainnya di masa lalu dan promosi destinasi wisata memori (dark tourism), tetapi juga menjadi media efektif sebagai upaya pengurangan risiko bencana global (PRB) terhadap ancaman bencana masa depan melalui kegiatan berbagi pengalaman bencana antara para korban, komunitas dan wisatawan, termasuk juga generasi Aceh masa depan.

Baca juga :  Polda Aceh Tiadakan Tilang Manual saat Natal dan Tahun Baru 2024

Semua kebaikan tersebut perlu dilihat dalam berbagai perspektif positif dari kejadian bencana masa lalu sebagai sebuah musibah menuju hikmah secara jangka panjang “blessing in disguise” (berkah terselubung atau berkah yang tersamar).

Refleksi Menuju Aceh Hebat

Peringatan tsunami Aceh akan terus diperingati setiap 26 Desember dengan melibatkan semua stakeholder, masyarakat, dan wisatawan sebagai media refleksi, apresiasi, mitigasi dan promosi. Refleksi berarti bencana masa lalu harus menjadi pengingat bahwa manusia tidak berdaya di hadapan Allah SWT.

Dua dekade peringatan tsunami Aceh pun dinilai belum cukup menjadikan negeri ini sebagai bangsa yang tangguh dalam menghadapi tantangan masa depan, penting bagi kita untuk tidak hanya mengenang tragedi, tetapi juga bekerja sama membangun budaya siaga bencana kepada masyarakat dan milenial Aceh, Memberi kesadaran dan punya persiapan untuk memitigasi bencana.

Dua dasawarsa peringatan tsunami Aceh ini diharapkan momentum pengingat akan fragilitas kehidupan dan kekuatan manusia untuk bangkit dari keterpurukan, menjadikannya sebagai daya ungkit menuju Aceh Hebat dalam semua sendi kehidupan. []

*Penulis adalah pemerhati sosial budaya, saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Umum HMI Komisariat Pertanian Universitas Malikussaleh.

Penulis : Andika Pratama
Editor : Redaksi