Siapakah Kita Saat Tak Ada yang Memaksa Kita untuk Jadi Baik?

Oleh: Ibnu Rahmat*

Avatar
Ibnu Rahmat, SH MH
Penulis, Ibnu Rahmat. 📷: Dok. Pribadi
Beberapa hari yang lalu saya sedang bosan, jadi untuk mengisi kebosanan itu saya habiskan dengan melihat postingan di Instagram. Ada satu postingan tentang pergelaran seni masa lampau yang menarik perhatian saya. Pertunjukan itu berlangsung pada 1974, di sebuah galeri kecil di Napoli. Seorang perempuan berdiri diam selama enam jam, membiarkan siapa pun melakukan apa saja terhadap tubuhnya. Ia tidak akan menolak. Ia tidak akan melawan.

Di hadapannya disediakan benda-benda yang boleh digunakan penonton, mulai dari pena, mawar, pisau, rantai, bahkan pistol dengan peluru di dalamnya. Perempuan itu bernama Marina Abramović. Nama pertunjukannya The Rhythm 0.

Saya bukan insan seni, saya juga bukan orang yang sangat memahami seni. Tetapi yang menarik dari pertunjukan Marina ini bukan pada keseniannya. Yang terjadi di ruangan itu bukan lagi soal seni. The Rhythm 0 berubah menjadi eksperimen moral yang pelan-pelan membongkar sesuatu yang sering kita tutupi: bahwa ketika semua pembatas dilepaskan, manusia bisa berubah menjadi makhluk yang sama sekali lain.

Awalnya penonton ragu, tetapi waktu adalah pengikis terbaik dari batas sosial. Sedikit demi sedikit, aksi mereka bergeser. Dari menyentuh pelan, menjadi menggunting baju. Dari menyematkan bunga, menjadi menyayat kulit. Bahkan, ada yang menodongkan pistol ke kepala Marina. Semua dalam ruang yang tenang dan terang, seperti galeri pada umumnya. Hanya saja kali ini, tubuh manusia menjadi medium, dan kebebasan menjadi eksperimen.

Di situ kita mulai melihat bahwa moral tidak selalu tinggal di hati. Kadang ia hanya berdiri di luar tubuh kita, di dalam bentuk sanksi, atau di tatapan orang lain, atau di keberadaan aturan yang menghentikan tangan kita sebelum bergerak terlalu jauh. Dan ketika semua itu dicabut, yang tersisa adalah pilihan yang sangat pribadi: siapakah aku saat tak ada yang memaksaku untuk jadi baik?

Baca juga :  [Opini] Dinamika Politik Aceh: Dari Konflik ke Pilkada 2024

Kita sering berpikir bahwa selama seseorang tahu mana yang benar dan salah, ia akan bertindak sesuai dengan itu. Tetapi pertunjukan The Rhythm 0 justru menunjukkan sebaliknya. Tahu belum tentu cukup. Kita juga perlu rasa gentar, rasa malu, bahkan rasa bersalah, untuk menahan diri. Terutama saat kita merasa kita tidak akan dihukum.

Moral bukan hanya soal memahami apa yang baik, tetapi soal berani memilih yang baik, bahkan ketika tidak ada yang akan menghukum jika kita memilih sebaliknya.

Yang paling mengganggu dari pertunjukan ini adalah kesadaran bahwa kekerasan-kekerasan itu terjadi dalam ruang yang “sah”. Marina memberi izin. Tidak ada pelanggaran hukum. Justru karena itu, para pelaku merasa bebas. Seolah-olah izin adalah penghapus dari tanggung jawab moral.

Fenomena semacam ini tidak hanya ada di galeri, tetapi hari ini juga hadir dalam bentuk ruang digital, akun tanpa identitas, atau jabatan yang kebal dari sanksi. Setiap hari, kita melihat orang-orang merasa bebas menghina, merendahkan, menyakiti karena merasa tak terlihat dan tak tersentuh.

Dan di situlah letak persoalannya: ketika kekuasaan hadir tanpa pengawasan, yang diuji bukan hanya karakter kita, tetapi juga sistem sosial yang memungkinkan kekerasan kecil merayap masuk dengan tenang.

Baca juga :  Kejaksaan dan Dominus Litis: Kewenangan Besar, Tanggung Jawab Besar

Dalam kacamata filsafat moral, pertunjukan ini melahirkan pertanyaan yang lebih tajam dari sekadar “apakah ini seni?” pertunjukan ini justru menguji pemahaman kita tentang kebebasan dan tanggung jawab. Dalam kerangka Kantian, moralitas tidak ditentukan oleh akibat, tetapi oleh prinsip: apakah tindakan kita menghormati manusia sebagai tujuan, bukan alat? Maka sekalipun Marina memberi izin, memperlakukannya sebagai objek untuk pelampiasan tetap melanggar prinsip moral. Persetujuan bukan pembebas dari etika.

Di sisi lain, pendekatan utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan akibatnya. Bisa jadi, Rhythm 0 dianggap “bermanfaat” karena menyingkap potensi kekerasan dalam diri manusia dan memicu diskusi moral yang panjang. Kesadaran publik yang lahir dari performa ini mungkin dianggap sebagai “nilai sosial” yang melampaui rasa sakit individu.

Namun, di sinilah letak persoalannya: apakah penderitaan seseorang bisa dibenarkan demi kesadaran kolektif? Apakah eksplorasi batas moral layak dibayar dengan tubuh yang disengaja untuk dilukai? Banyak kritik terhadap utilitarianisme, inilah titik rapuhnya: bahwa manfaat terbesar bisa saja dibangun di atas pelanggaran terhadap martabat individu.

Jika utilitarianisme menimbang moral dari hasil, maka Kantianisme berdiri teguh pada prinsip. Yang satu bertanya, “apa hasil terbaik?”, yang lain bertanya, “apakah ini tetap benar jika dilakukan semua orang?” Dalam kasus ini, keduanya memberi kita dua sisi yang menggugah: bahwa “kebaikan bersama” pun bisa jadi kejam, dan bahwa kebebasan tanpa prinsip bisa menjadi sarang kekerasan yang sunyi.

Ketika waktu pertunjukan habis dan Marina mulai bergerak, para penonton menjauh. Mereka menolak menatapnya. Mereka tahu yang tadi mereka perlakukan seperti objek adalah manusia. Dan tak mudah menatap manusia yang pernah kita lukai, apalagi saat kita sadar bahwa ia tidak pernah melawan. Yang tersisa dari pertunjukan itu bukan rasa kagum, tetapi rasa malu. Rasa takut.

Baca juga :  Problematika Daging Qurban untuk "Orang Kaya"

The Rhythm 0 juga telah membuka soal yang jarang dibicarakan dalam filsafat moral konvensional: bahwa kejahatan tidak selalu lahir dari kebencian, melainkan dari kekosongan batas. Dari ruang yang netral, dari sistem yang diam, dari izin yang dibiarkan menggantung tanpa tanggung jawab. Bukan hanya soal kekerasan yang terjadi, tetapi juga tentang bagaimana kekerasan itu dilegalkan oleh kerangka sosial yang tampaknya sah dan “bebas”.

Jika etika adalah tentang relasi antar manusia, maka yang diuji dalam pertunjukan ini bukan hanya individu, tetapi cara kita memahami otonomi, kuasa, dan kehendak bebas dalam diskursus sosial. Marina memaksa publik menanggalkan topeng peradaban, dan membiarkan kita melihat bahwa ketika hukum dan norma diam, tak semua orang memilih kebaikan.

Di tengah hiruk pikuk peradaban, mungkin seni seperti inilah yang kita butuhkan: seni yang tidak menyenangkan, tetapi membuat kita berpikir lebih jujur tentang diri sendiri. Bukan untuk menemukan makna besar, tetapi untuk membongkar kemungkinan paling kecil dari kejahatan, yang sering lahir dari kelengahan, dari kebebasan yang tidak diimbangi tanggung jawab.

Dan barangkali, pelajaran paling penting dari Rhythm 0 adalah ini: ketika tak ada yang melarang, kepada siapa kita bertanggung jawab?

*Penulis merupakan penikmat kopi di sudut Lamuri

Penulis : Ibnu Rahmat
Editor : Redaksi