Sejak disepakatinya Perjanjian Helsinki pada tahun 2005, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memainkan peran penting dalam membentuk lanskap politik di Aceh. Pada awal transisi mereka dari gerilyawan menjadi pejabat pemerintahan, dukungan luas datang dari masyarakat Aceh. Rakyat melihat mereka sebagai perwujudan perjuangan otonomi dan keadilan.
Partai lokal, seperti Partai Aceh, kemudian muncul sebagai kekuatan politik dominan, mencerminkan besarnya kepercayaan publik terhadap para mantan kombatan ini yang dianggap telah membebaskan Aceh dari keterikatan pusat.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan makin jauhnya Aceh dari periode pascakonflik, tantangan-tantangan baru mulai muncul. Dalam beberapa kasus, ekspektasi masyarakat terhadap para pemimpin ini, khususnya terkait pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahan, belum sepenuhnya terpenuhi.
Meski begitu, penting untuk dicatat bahwa para mantan kombatan ini tetap memikul aspirasi rakyat Aceh. Kepemimpinan mereka didasari pemahaman mendalam tentang sejarah perjuangan Aceh, dan mereka tetap berkomitmen untuk menjaga otonomi yang diperoleh melalui Perjanjian Helsinki.
Menjelang Pilkada serentak 2024, dinamika politik di Aceh mengalami perubahan signifikan, dengan meningkatnya persaingan dari partai-partai nasional serta munculnya gerakan politik lokal baru. Beberapa di antara pesaing ini mencoba menantang dominasi mantan kombatan dengan menggambarkan mereka sebagai peninggalan masa lalu. Namun, narasi ini cenderung mengabaikan peran fundamental yang telah dimainkan oleh para pemimpin eks-GAM dalam memastikan perdamaian dan stabilitas di Aceh.
Dengan makin ketatnya persaingan politik, para mantan pemimpin GAM dihadapkan pada tantangan untuk tetap relevan di hadapan generasi pemilih muda. Pemilih generasi baru ini mungkin tidak secara langsung mengalami konflik, namun pencapaian politik para mantan kombatan, terutama dalam hal menjaga perdamaian, tetap signifikan. Keterkaitan mendalam mereka dengan sejarah perjuangan Aceh memberi mereka perspektif yang unik tentang tata kelola, yang tidak dapat direplikasi oleh aktor politik lain.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh elite politik Aceh, termasuk para mantan kombatan, adalah kemunculan retorika populis yang makin mengemuka di Indonesia. Populisme, yang sering kali menguat melalui eksploitasi perpecahan sosial, mulai memengaruhi wacana politik di Aceh. Namun, para mantan kombatan memiliki keunggulan dalam menghadapi fenomena ini. Peran sejarah mereka sebagai pejuang otonomi memungkinkan mereka untuk memanfaatkan kebanggaan identitas lokal dan memori kolektif, menjadikan mereka sebagai pembela sejati Aceh.
Meskipun para pemimpin populis mungkin mencoba menarik simpati dengan mengedepankan keluhan emosional, mantan kombatan dapat menawarkan narasi yang lebih dalam: komitmen untuk melindungi otonomi Aceh dari intervensi pusat. Sejarah perlawanan mereka terhadap Jakarta memberikan tingkat legitimasi yang tidak dapat ditandingi oleh pesaing politik lain. Dengan membingkai kepemimpinan mereka sebagai kelanjutan dari perjuangan otonomi, mereka dapat beresonansi dengan para pemilih yang menempatkan identitas khas Aceh sebagai prioritas.
Salah satu isu signifikan dalam politik Aceh saat ini adalah perdebatan mengenai pemekaran wilayah administratif. Pendukung pemekaran berpendapat bahwa pemisahan wilayah dapat mendorong pemerintahan yang lebih efisien dan pembangunan yang lebih merata di daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan. Namun, bagi mantan kombatan, pemekaran wilayah ini memunculkan tantangan serius. Sebagai pihak yang memperjuangkan kesatuan Aceh dan otonomi wilayahnya, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar otonomi tersebut tidak terpecah.
Bagi banyak rakyat Aceh, gagasan pemekaran provinsi dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan yang dengan susah payah dicapai melalui konflik bersenjata. Kepemimpinan para mantan kombatan sangat penting dalam mengarahkan perdebatan ini dan memastikan bahwa setiap perubahan administratif tidak menggerogoti prinsip-prinsip dasar Perjanjian Helsinki. Dengan terus berperan aktif dalam diskusi ini, para pemimpin eks-GAM menunjukkan komitmen mereka untuk masa depan Aceh yang utuh.
Saat Aceh memasuki periode menjelang Pilkada 2024, lanskap politiknya makin kompleks. Meskipun demikian, di tengah persaingan dan perubahan demografi pemilih, mantan kombatan tetap menjadi kekuatan politik yang dominan. Warisan mereka sebagai pejuang otonomi Aceh dan peran mereka dalam mendatangkan perdamaian di wilayah tersebut adalah kontribusi yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Di tahun-tahun mendatang, para pemimpin ini perlu beradaptasi dengan dinamika politik yang terus berubah, tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip yang membimbing perjuangan mereka di masa lalu. Kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan-tantangan baru—seperti pembangunan ekonomi, tata kelola pemerintahan, dan pelestarian otonomi—akan menentukan relevansi politik mereka di masa depan. Namun, posisi mereka yang unik sebagai simbol perlawanan dan ketahanan Aceh memastikan bahwa mereka akan tetap menjadi bagian integral dari masa depan politik provinsi tersebut.
Meskipun mantan kombatan menghadapi tekanan politik yang makin besar, kisah kepemimpinan mereka belum usai. Mereka terus mewakili semangat perjuangan Aceh untuk kebebasan, menawarkan kepemimpinan yang berakar pada sejarah, pengorbanan, dan pemahaman mendalam tentang masyarakat yang pernah mereka perjuangkan.
*Penulis adalah praktisi hukum dan pemerhati sosial politik Aceh